Oleh Suharyanto
SYAHDAN, pada zaman dahulu kala ada
seorang pengembara dari Laut Selatan bernama Raden Budog. Suatu hari, setelah
lelah bermain di tepi pantai, Raden Budog beristirahat di bawah pohon ketapang
laut. Angin semilir sejuk membuat Raden Budog terlena. Perlahan matanya
terpejam. Dalam tidumya Raden Budog bermimpi mengembara ke utara dan bertemu
dengan seorang gadis yang sangat cantik. Hati Raden Budog terpesona oleh
kecantikannya. Tanpa disadarinya, kakinya melangkah mendekati gadis itu yang
tersenyum manis kepadanya. Dilihatnya tangan gadis itu diulurkan kepadanya.
Raden Budog pun mengulurkan tangannya hendak menyambut uluran tangan gadis itu.
Tapi betapa terkejutnya dia... seranting kering pohon ketapang mengenal
dahinya. Raden Budog terperanjat dan terbangun dari tidurnya. Dengan perasaan
kesal diraihnya ranting itu dan dibantingnya keras-keras. "Ranting
keparat!" gerutunya. "Kalau ranting itu tidak jatuh maka aku bisa
menikmati mimpi indahku."
Berhari-hari bayangan mimpi itu tidak
pernah bisa hilang dari ingatan Raden Budog. Lalu diputuskannya bahwa dia akan
pergi mengembara. Raden Budog pun segera menyiapkan perbekalan untuk pengembaraannya.
"Cek...cek...cek..., kita akan mengembara, sayang," kata Raden Budog
mengelus-elus anjing kesayangannya yang melonjak-lonjak dan menggonggong
gembira seolah mengerti ajakan tuannya.
Raden Budog lalu menghampiri kuda
kesayangannya. "Kita akan mengembara jauh, sayang. Bersiap-siaplah."
Raden Budog membelai-belai kudanya yang meringkik gembira. Kemudian Raden Budog
menyiapkan golok dan batu asah yang selalu dibawanya ke mana saja dia
mengembara.
Setelah semuanya dirasa siap, Raden
Budog segera menunggang kuda kesayangannya, berjalan ke arah utara. Di
pinggangnya terselip golok panjang yang membuatnya tampak gagah dan perkasa.
Sedangkan tas anyaman dari kulit terep berisi persediaan makanan, terselempang
di bahunya. Sementara itu anjing kesayangannya berjalan di depan,
mengendus-endus mencari jalan bagi tuannya. Anjing itu kadang menggonggong
menghalau bahaya yang mengancam tuannya.
Lima hari perjalanan telah ditempuhnya.
Walaupun begitu Raden Budog belum juga mau turun dari kudanya. Dia juga tidak
menyadari badannya sudah lemah karena perutnya kosong, begitu pula kudanya.
Pikirannya cuma terbayang-bayang pada mimpinya di tepi pantai itu. "Kapan
dan di mana aku bisa bertemu gadis itu?" gumamnya dalam hati.
Raden Budog terus memacu kudanya
menapaki jalan-jalan terjal dan mendaki hingga tiba di Gunung Walang yang
sekarang ini menjadi kampung Cimahpar. Tiba-tiba kudanya roboh. Raden Budog
terperanjat, mencoba menguasai keseimbangannya. Namun Budog terperanjat,
mencoba menguasai keseimbangannya. Namun karena sudah sama-sama lemah, Raden
Budog dari kudanIva berguling-guling di lereng gunung. Anjing kesayangannya
menggonggong cemas meningkahi ringkik kuda. Raden Budog segera bangun, sekujur
badannya terasa lemah dan nyeri.
Sejenak Raden Budog istirahat di Gunung
Walang. Dia membuka bekalnya dari makan dengan lahap. Sementara itu kudanya
mencari rumput segar sedangkan anjingnya berlarian kian kemari memburu
mangsanya, seekor burung gemak yang berjalan di semak-semak.
"Ayo kita berangkat lagi!"
Raden Budog berteriak memanggil kuda dan anjingnya. Namun dilihatnya pelana
kuda itu ternyata telah robek. Dengan terpaksa Raden Budog menanggalkan pelana
itu dan memutuskan untuk meneruskan perjalanannya dengan berjalan kaki karena
dia tidak biasa menunggang kuda tanpa pelana. Mereka terus rnelangkah hingga
tibalah di suatu tempat yang tinggi. Tali Alas namanya yang sekarang disebut
Pilar. Dari tempat inilah Raden Budog dapat melihat laut yang biru membentang
dengan pantainya yang indah.
Raden Budog kemudian melanjutkan
perjalanan ke pantai Cawar. Begitu sampai di pantai yang indah itu Raden Budog
segera berlari dan terjun ke laut, berenang-renang gembira. Perjalanan yang
begitu melelahkan Iitu seolah lenyap oleh segarnya air pantai Cawar. Di muara
sungai Raden Budog membilas tubuhnya. lalu dicarinva kuda dan anjing
kesayangannya untuk meneruskan pengembaraan.
"Ayo kita berangkat lagi!"
seru Raden Budog ketika dilihatnya kuda dan anjing kesayangannya itu sedang
duduk di tepi pantai.
Tidak seperti biasanya, kuda dan anjing
kesayangannya itu diam saja seolah tak perduli ajakan tuannya. Raden Budog
merasa heran. "Cepat berdiri! Ayo kita berangkat"' Seru Raden Budog
lagi.
Tapi kedua binatang itu tetap duduk
saja, tak bergerak sedikit pun. Anjing dan kuda itu tampak sangat kelelahan
setelah menempuh perjalanan panjang, sehingga sekadar untuk berdiri pun tak
sanggup lagi.
"Aku harus segera menemukan gadis
pujaanku. Kalau kalian tidak mau menuruti perintahku dan tetap diam seperti
karang, akan kutinggalkan kalian di sini!" teriak Raden Budog sambil
meneruskan perjalanan, meninggalkan anjing dan kuda kesayangannya. Namun kedua
binatang itu tetap tidak bergeming dan menjelma menjadi karang. Sampai sekarang
di pantai Cawar terdapat karang yang menyerupai kuda dan anjing sehingga disebut
Karang Kuda dan Karang Anjing.
Maka Raden Budog melanjutkan
pengembaraannya seorang diri. Dalam benaknya telah ada kesayangan lain yang
ingin segera ditemukannya. Gadis pujaan yang muncul dalam mimpinya itu
benar-benar memenuhi benaknya, sehingga goloknya pun tertinggal di Batu Cawar.
Kini Raden Budog hanya membawa tas dari kulit terep beserta batu asah di
dalamnya. Sesampainya di Legon Waru, Raden Budog kembali merasakan kelelahan.
Sendi-sendi tubuhnya terasa lunglai. Tapi Raden Budog tidak ingin beristirahat
barang sebentar. Dia terus mencoba melangkah dengan sisa tenaganya.
"Benda ini rasanya sudah tak
berguna, hanya memberati pundakku saja. Lebih baik kutinggalkan saja di
sini," gumam Raden Budog. Diambilnya batu asah itu dari dalam tasnya dan
diletakkannya di tepi jalan. "Biarlah batu ini menjadi kenangan,"
gumamnya lagi. Demikiamah, sampai saat ini di Legon Waru terdapat sebuah karang
yang dikenal dengan Karang Pengasahan.
Berhari-hari Raden Budog terus
mengembara menyusuri pesisir pantai. Wajah gadis yang menghiasi mimpinya
memenuhi pikirannya sepanjang perjalanan, menyalakan semangat dalam dadanya.
Rasa bosan, lelah dan letih tak dihiraukannya. Juga pakaiannya yang mulai lusuh
dan badannya yang berdebu. Suatu ketika hujan turun dengan derasnya, Raden
Budog berlindung di bawah pohon. Dari balik pasir, tiba-tiba berhamburan
penyu-penyu besar dan kecil menuju laut. Penyu-penyu itu seakan gembira
menyambut datangnya air hujan. Tempat itu kini dikenal dengan nama Cipenyu.
Sesaat kemudian Raden Budog melanjutkan perjalanannya setelah mengambil daun
pohon langkap yang dijadikannya sebagai payung agar tidak kehujanan.
Namun hujan terus melebat, tidak ada
pertanda akan reda. Mendung tampak semakin menghitam dan bergerak dari selatan
menuju utara. "Mudah-mudahan ada gua di sekitar sini. Aku harus berlindung
dan beristirahat sejenak," gumam Raden Budog. Dan betapa gembiranya Raden
Budog ketika dilihatnya sebuah bukit karang yang menjorok. Raden Budog pun
mempercepat langkah dan masuk ke dalam gua. Ditutupnya pintu gua dengan daun
langkap sehingga gua itu pun menjadi gelap gulita.
Beberapa saat Raden Budog beristirahat
melepas lelah sambil menunggu hujan reda. Tapi Raden Budog merasa tidak nyaman
berada dalam gua yang gelap gulita itu. Dibukanya daun langkap yang menutupi
pintu gua. Seberkas sinar menerobos masuk. Ternyata hujan telah reda. Raden
Budog pun keluar dan ditutupnya kembali mulut gua itu dengan daun langkap.
Sampai saat ini pintu gua itu tetap tertutup daun langkap yang membatu dari
dikenal dengan nama Karang Meumpeuk.
Tidak jauh dari Karang Meumpeuk,
tibalah Raden Budog pada sebuah muara sungai yang airnya sangat deras. Hujan
yang baru saja turun memang sangat lebat, sehingga tidak mengherankan jika
sungai-sungai menjadi banjir. Raden Budog terpaksa menghentikan perjalanannya
dan duduk di atas batu memandangi air sungai yang meluap. Sayup-sayup terdengar
bunyi lesung dari seberang sungai. Hati Raden Budog berdebar dipenuhi rasa
sukacita. Dia merasa yakin, di seberang sungai terdapat kampung tempat tinggal
gadis pujaannya yang selama ini dia cari. "Dasar kali banjir!" gerutu
Raden Budog tak sabar menunggu banjir surut. Tempat ini sampai sekarang
terkenal dengan Kali Caah yang berarti kali banjir.
Karena sudah tidak dapat menahan sabar,
akhirnya Raden Budog menyeberangi sungai itu walaupun dengan susah payah dan
dengan mengerahkan seluruh tenaganya. Di pitltu masuk kampung, Raden Budog
beristirahat, rnengitarkan pandang ke arah kampung. Hatinya mulai merasa tenang
karena merasa akan segera bertemu dengan gadis yang dimimpikannya.
Di kampung itu tinggallah seorang janda
bernama Nyi Siti yang memiliki seorang anak gadis yang sangat cantik. Sri Poh
Haci namanya. Setiap hari Dri Poh Haci membantu ibunya mnumbuk padi menggunakan
lesung yang dipukul-pukulnya itu menimbulkan suara yang sangat merdu dan indah.
Oleh sebab itu, setiap kali selesai menumbuk padi, Sri Poh Haci tidak segera
berhenti, tapi terus memukul-mukul lesung itu hingga terangkatlah nada yang
merdu dan enak didengar. Dimulai dari sinilah akhirny banyak gadis kampung yang
berdatangan ke rumah Nyi Siti untuk ikut memukul lesung bersama Nyi Poh Haci.
Kebiasaan memukul lesung akhirnya
menjadi tradisi kampung itu. Sri Poh Haci merasa gembira dapat menghimpun
gadis-gadis kampung bermain lesung. Permainan ini oleh Sri Poh Haci diberi nama
Ngagondang, yang kemudian dijadikan acara rutin setiap akan menanam padi. Tapi
pada setiap hari Jum’at dilarang membunyikan lesung, karena hari Jum’at adalah
hari yang keramat bagi kampung itu.
Raden Budog yang sedang beristirahat di
pintu masuk kampung kembali mendengar bunyi lesung yang mengalun merdu.
Kemudian dia berdiri dan melangkahkan kaki menuju ke arah sumber bunyi-buny'in
itu. Bunyi lesung terdengar semakin keras. Di dekat sebuah rumah, dilihatnya
gadis-gadis kampung sedang bermain lesung. Tangan mereka begitu lincah dan
trampil mengayunkan alu ke lesung, membentuk nada-nada mempesona. Tapi yang
lebih mempesonakan Raden Budog adalah seorang gadis semampai yang cantik
jelita. Gadis itu mengayunkan tangannya sekaligus memberi aba-aba pada
gadis-gadis lain. Rupanya gadis itu adalah pemimpin dari kelompok gadis-gadis
yang sedang bermain lesung itu.
Merasa ada yang memperhatikan, gadis
itu, Sri Poh Haci, memberikan syarat kepada gadis-gadis lainnya untuk
menghentikan permainan. Gadis-gadis itu pun bergegas pulang ke rumah
masing-masing. Begitu pula Sri Poh Haci. Di dalam rumah, ibunya bertanya kepada
Sri Poh Haci, mengapa permainannya hanya sebentar. Sri Poh Haci lalu
menceritakan bahwa di luar ada seorang lelaki tampan yang belum pernah
dilihatnya. "Laki-laki itu memperhatikanku terus. Aku jadi malu, Bu,"
kata Sri Poh Haci.
Sesaat kemudian, terdengar suara
ketukan pintu.
"Sampurasun."
"Rampes," jawab Nyi Siti
seraya berjalan menuju pintu dan membukanya perlahan. Dilihatnya seorang pemuda
yang gagah lagi tampan berdiri di depan pintu.
Belum sempat Nyi Siti berbicara, pemuda
itu sudah mendahului membuka suara. "Maaf mengganggu. Bolehkah saya
menginap di rumah ini?"
Nyi Siti tentu saja kaget mendengar
permintaan dari orang yang tak dikenalnya. "Kisanak ini siapa? Dari mana
asalnya? Mengapa pula hendak menginap di sini? Saya belum kenal dengan
Kisanak," kata Nyi Siti.
"Oh, ya. Maaf, saya belum
memperkenalkan diri. Nama saya Raden Budog. Saya seorang pengembara. Saya tak
punya tempat tinggal. Kebetulan saya sampai di kampung ini, dan kalau
diperbolehkan saya ingin menginap di sini," jelas Raden Budog.
"Maaf, Kisanak. Saya seorang janda
dan tinggal dengan anak perempuan saya satu-satunya. Saya tidak berani menerima
tamu laki-laki, apalagi sampai menginap," jawab Nyi Siti dengan tegas dan
segera menutup pintu.
Hari sudah mulai gelap. Raden Budog
yang merasa kesal oleh kejadian yang baru saja dialaminya berjalan menuju
bale-bale bambu di dekat rumah Nyi Siti. Dia merebahkan tubuhnya dan segera
tertidur pulas. Dia pun bermimpi diijinkan menginap di rumah itu. Bukan oleh
Nyi Siti yang menyebalkan itu, tapi oleh seorang gadis cantik yang dia temui dalam
mimpinya di pantai selatan, gadis yang tadi dilihatnya sedang bermain gondang.
Ah, betapa senangnya hati Raden Budog.
Namun waktu begitu cepat berlalu.
Matahari mulai muncul di ufuk timur. Raden Budog terbangun, mengusap-usap
matanya yang masih mengantuk. Hidungnya mencium wangi kopi yang menyegarkan.
Kemudian dilihatnya seorang gadis cantik menyuguhkan segelas kopi di
sampingnya.
"Minum dulu kopinya, Raden,"
kata gadis itu.
"Kamu siapa? Dari mana kamu tahu
namaku?" tanya Raden Budog, walau sesungguhnya dia tahu bahwa gadis itu
pastilah anak Nyi Siti.
"Namaku Sri Poh Haci, anak Nyi
Siti.”
Hari berganti hari. Kedua insan itu pun
jatuh cinta. Nyi Siti sebenarnya tidak setuju bila anaknya dipinang oleh orang
yang tidak diketahui asal-usulnya, apalagi orang itu kelihatan keras kepala.
Tapi Nyi Siti juga tidak ingin mengecewakan hati Sri Poh Haci, anaknya yang
semata wayang itu. Akhirnya Raden Budog menikah dengan Sri Poh Haci. Kesenangan
Sri Poh Haci menabuh lesung tetap dilanjutkan bersama gadis-gadis kampung.
Bahkan Raden Budog sendiri menjadi sangat mencintai bunyi lesung dan turut
memainkannya. Hingga suatu ketika, terjadilah peristiwa yang tidak diinginkan
sama sekali oleh penduduk kampung itu. Karena sangat senangnya terhadap bunyi
lesung, Raden Budog yang keras kepala itu setiap hari tidak mau berhenti
menabuh lesung.
Hari itu hari Jum'at. Raden Budog
kembali hendak menabuh lesung. Para tetua kampung memperingatkan dan melarang
Raden Budog. Tapi Raden Budog tidak perduli dan tetap menabuh lesung. Dengan hati
girang dan bersemangat, Raden Budog terus menabuh lesung seraya melompat-lompat
kian kemari.
"Lihat, lihat! Ada lutung memukul
lesung! Ada lutung memukul lesung!" Penduduk kampung berteriak-teriak
melihat seekor lutung sedang memukul-mukul lesung.
Raden Budog terperanjat mendengar
teriakan-teriakan Itu. Dia melihat ke sekujur tubuhnya. Betapa kagetnya dia
setelah melihat tangarnnya penuh bulu. Begitu pula kakinya. Dirabanya mukanya
yang juga telah ditumbuhi bulu. Raden Budog pun lari terbirit-birit masuk ke
dalam hutan di pinggir kampung itu. Raden Budog menjadi lutung. Penduduk
kampung itu menamainya Lutung Kesarung.
Sri Poh Haci sangat malu dengan
kejadian itu. Diam-diam dia pergi meninggalkan kampung. Konon Sri Poh Haci
menjelma menjadi Dewi Padi. Demikianlah ceritanya, kampung itu pun terkenal
dengan sebutan Kampung Lesung dan karena letaknya di sebuah tanjung,
orang-orang kemudian menyebutnya Tanjung Lesung.